Selasa, 25 Maret 2014

Pesona Marmer dari Tulung Agung

Tulungagung merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, Tulungagung mempunyai banyak julukan, antara lain : KOTA MARMER, KOTA INGANDAYA (Industri, Pangan, dan Budaya), KOTA BERSINAR, dan KOTA NGROWO.
Sehingga saat ini biasa disebut sebagai "KOTA MARMER TULUNGAGUNG BERSINAR, KOTA MANDIRI, JAWA TIMUR YANG GUYUB RUKUN "
Potensi yang ada di kab. Tulungagung terutama tentang kerajinan marmer yang notabene termasuk dalam seni rupa 3 dimensi. Serta menjadi icon/land mark/ciri khas kota Tulungagung yang selama ini identik dengan KOTA MARMER dari segi arsitektural
kalau bukan karena ada batu Marmernya, mungkin tidak banyak yang kenal dengan desa Besole dan desa Gamping yang terletak di kecamatan Campur Darat, kabupaten Tulungagung. Desa ini baru akan terlihat oleh orang luar bila ada wisatawan yang berkunjung ke pantai Popoh, pantai selatan yang terkenal dengan ombak Nyi Roro Kidulnya. Namun sejak meningkatnya industri kerajinan Marmer di kedua desa tersebut, nama Besole dan Gamping tidak hanya dikenal di tingkat propinsi, tapi sudah keluar sampai ke manca negara. Negara-negara seperti Jepang, Korea, Jerman merupakan negara terbesar untuk pemasaran hasil industri marmer ini.

Sayangnya dari sekian banyak pengrajin marmer yang ada di sana, hanya sebagian besar tidak memiliki ijin dari PT. Perhutani. Perusahaan yeng menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mengawasan daerah ini. Padahal mayoritas penduduk desa ini menggantungkan hidupnya dari marmer.

Batu Marmer dan Onix memang telah mengubah masyarakat desa ini. Total tidak kurang dari 9.500 orang yang menggantungkan hidupnya dari gunung marmer Besole ini, mereka tidak hanya dari kabupaten Tulungagung tetapi juga dari luar seperti Trenggalek, Blitar, Pacitan dan daerah sekitarnya.
Untuk menghasilkan produk kerajinan batu marmer atau onix ternyata bahan bakunya tidak hanya berasal dari Tulungagung. Misalnya bahan baku yang digunakan para pengrajin di Desa Gamping sebagian besar dibeli di Bawean, Gresik. Harga batu jenis onix adalah Rp 160.000/ton. Sedangkan batu marmer hasil Gunung Marmer Besole lebih murah, Rp 100.000/ton. Sedangkan bahan untuk mengkilapkan dan melicinkan batu adalah kertas mafeli buatan Italia atau sejenis kertas pasir, yang mudah diperoleh di Surabaya bahkan di Tulungangung. Harga kertas ukuran 5 cm x 20 cm ini sekitar Rp 26.000, bahkan cuma Rp 14.000/kg dalam bentuk bubuk. Pengrajin sekarang cenderung menggunakan bubuk pelicin, karena dianggap lebih praktis.
Harga hasil kerajinan warga Gamping yang sudah go international ini paling murah Rp 500, yang berbentuk sebutir telur. Rata-rata setiap bulan, setiap pengrajin bisa memproduksi berbagai jenis barang senilai paling sedikit Rp 1 juta. Bahkan ada juga yang penghasilannya mencapai Rp 10 juta per bulan.
Barang dari bahan batu onix lebih disukai konsumen karena warnanya bisa bening, kekuning-kuningan, krem, atau bergarisgaris seperti akar pohon. Batu ini kesannya seperti batu-batu alam yang belum disentuh teknologi, sehingga kelihatan antik.
Marmer buatan penduduk dijual ke berbagai kota di Indonesia baik berupa blok maupun bubuk (mill) atau teraso (kepala tegel) untuk campuran semen.
Sayangnya dari sekian banyak pengrajin marmer yang ada di sana, hanya sebagian besar tidak memiliki ijin dari PT. Perhutani. Perusahaan yeng menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk mengawasan daerah ini. Padahal mayoritas penduduk desa ini menggantungkan hidupnya dari marmer.
Sebenarnya sejak tahun 1983 PT Perhutani menetapkan bahwa penggali batu marmer di daerah tersebut harus memiliki Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD). Namun hinggi kini ijin yang keluar baru untuk PT Industri Marmer Indonesia (IMI), perusahaan inipun hanya bertahan hingga tahun 1994, sekarang sudah bangkrut dan ijinnya dialihkan pe PT Dwitunggal Marmer Indah (DMI). DMI memiliki lahan 17 hektar di kawasan itu. Dari luas itu, hanya enam hektar yang mendapat SIPD dari PT Perhutani untuk dimanfaatkan potensinya. Sedangkan sisanya merupakan kompleks perumahan karyawan dan pabrik serta sarana penunjang.
Kini di desa Besole ini terdapat ratusan mesin penghancur batu dan pembuat marmer berbentuk balok atau bubuk. Jika pabrik besar mampu memproduksi mamer ukuran 2 meter x 3 meter, warga biasanya hanya memproduksi marmer berukuran kecil dan sedang. Ukurannya kira-kira 40 cm x 40 cm dengan ketebalan 2 cm seharga Rp 7.000 - Rp 8.000 perlembar. Persoalannya adalah bisakah mereka bertahan dengan kondisi sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar